Indonesia terus memperkuat posisinya sebagai salah satu pemain kunci dalam industri mineral kritis dan mineral strategis global, yang mencakup nikel, tembaga, timah, hingga logam tanah jarang (LTJ). Posisi Indonesia memainkan peran penting di tengah dinamika geopolitik dan permintaan global yang terus meningkat.
Besarnya sumber daya dan produksi beberapa komoditas mineral kritis di Tanah Air, membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang dilirik dunia. RI kemudian dipacu untuk melakukan pengolahan dan pemurnian demi tak lagi menjual barang “mentah” dan menciptakan nilai tambah.
Potensi Mineral Kritis Indonesia
Indonesia memiliki berbagai mineral kritis yang sangat penting untuk berbagai industri. Terutama dalam produksi kendaraan listrik, peralatan militer, dan peralatan berteknologi tinggi lainnya. Beberapa mineral kritis utama yang dimiliki Indonesia antara lain nikel, tembaga, timah, bauksit, hingga logam tanah jarang.
Bahkan, mulai muncul temuan untuk litium di Tanah Air. Berdasarkan penyelidikan awal Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ditemukan adanya potensi litium di Bledug Kuwu, Grobogan, Jawa Tengah.
Lantas, berapa besar cadangan mineral kritis di RI? Berikut ulasannya.
- Nikel
Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia, menyumbang sekitar 49% dari produksi nikel global. Nikel adalah komponen kunci dalam pembuatan baterai lithium-ion yang digunakan dalam kendaraan listrik. Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 132.K/GL.01/MEM.G/2024 tentang Neraca Sumber Daya dan Cadangan Mineral dan Batu Bara Nasional pada Tahun 2023, total cadangan bijih nikel RI hingga Desember 2023 tercatat mencapai 5,32 miliar ton bijih dan 56,12 juta ton logam nikel.Adapun produksi bijih nikel pada 2023 tercatat mencapai 175,62 juta ton.
- Tembaga
Indonesia pada 2025 mendatang diperkirakan akan menjadi produsen katoda tembaga terbesar ke-4 di dunia. Ini seiring dengan mulai beroperasinya beberapa fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) tembaga baru di Tanah Air, salah satu terbesar yaitu yang dioperasikan PT Freeport Indonesia.Smelter tembaga kedua Freeport di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) JIIPE Gresik, Jawa Timur, memiliki kapasitas pengolahan konsentrat tembaga sebesar 1,7 juta ton per tahun dan mampu memproduksi 600.000-700.000 ton per tahun.
Digabung dengan smelter tembaga yang dikelola PT Smelting saat ini, maka katoda tembaga yang dihasilkan dari smelter milik PT Freeport Indonesia pada 2025 diperkirakan mencapai 1 juta ton per tahun. Mayoritas saham PTFI kini sudah dimiliki pihak Indonesia, tepatnya 51%, melalui Holding BUMN MIND ID. Itu baru dari satu perusahaan PTFI, belum lagi dari smelter milik perusahaan lain di Tanah Air.
Pada 2025 Indonesia diperkirakan bisa memproduksi katoda tembaga hingga 1,5 juta ton. Bila ini tercapai, ini melampaui angka produksi katoda tembaga dari Rusia yang mencapai 1 juta ton per tahun.
Tembaga digunakan secara luas dalam berbagai aplikasi teknologi, termasuk jaringan listrik dan elektronik.
Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 132.K/GL.01/MEM.G/2024 tentang Neraca Sumber Daya dan Cadangan Mineral dan Batu Bara Nasional pada Tahun 2023, total cadangan tembaga RI hingga Desember 2023 tercatat mencapai 2,85 miliar ton bijih dan 21,41 juta ton logam tembaga.
Adapun produksi bijih tembaga pada 2023 mencapai 132,87 juta ton.
- Lithium
Badan Geologi Kementerian ESDM mengumumkan penemuan litium di Bledug Kuwu, Grobogan, Jawa Tengah. Litium adalah komponen penting untuk baterai kendaraan listrik, membuka peluang besar bagi Indonesia untuk menjadi pemasok utama dalam rantai pasok global untuk industri kendaraan listrik.
Adapun potensi litium yang ditemukan di wilayah tersebut mencapai lebih dari 1.000 PPM.
- Timah
Data Kementerian ESDM, pada 2020 cadangan timah RI merupakan terbesar ke-2 di dunia, menguasai 17% cadangan timah dunia. Sementara dari sisi produksi juga terbesar ke-2 dunia, di bawah China, yang mencapai 22% produksi timah dunia.
Hingga Desember 2023, total cadangan timah RI tercatat mencapai 6,36 miliar ton bijih berupa konsentrat dan 1,37 juta logam timah. Sedangkan, produksi timah RI pada 2023 tercatat mencapai 67.600 ton.
- Bauksit
Berdasarkan data Kementerian ESDM, total cadangan bauksit RI hingga Desember 2023 tercatat mencapai 2,78 miliar ton 531,42 juta ton logam. Sementara itu, produksi bauksit RI pada 2023 tercatat sebesar 7,47 juta ton. - Logam Tanah Jarang
Hingga akhir 2023, Kementerian ESDM mencatat total sumber daya logam tanah jarang RI tercatat mencapai 136,20 juta ton bijih dan 118.650 ton logam.Namun, Indonesia memang belum melakukan eksplorasi lebih lanjut, sehingga belum diketahui pasti jumlah cadangannya. Dengan demikian, Indonesia juga belum memproduksi logam tanah jarang ini.
Harga Nikel dan Dampak Geopolitik
Salah satu mineral kritis yang menjadi andalan Indonesia yaitu nikel. Sejak larangan ekspor bijih nikel pada 2020 lalu, Indonesia menjadi sorotan dunia. Kebijakan ini turut mengundang kritikan hingga gugatan dari Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Sejak mengekspor produk nikel hasil olahan, nilai ekspor nikel Indonesia terus melonjak, terutama untuk feronikel. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam lima tahun, ekspor feronikel bisa meroket 490%, dari US$ 2,59 miliar pada 2019 menjadi US$ 15,29 miliar pada 2023. Begitu pula untuk segmen nikel dan turunannya melejit 740% dari US$ 813,16 juta pada 2019 menjadi US$ 1,39 miliar pada 2023.
Ekspor nikel pada 2023 juga menjadi yang tertinggi dalam satu dekade, setelah meroket hingga 10 kali lipat.
Seiring dengan kenaikan harga nikel pada tahun ini, RI ternyata meraup keuntungan luar biasa dari ekspor komoditas tersebut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai akumulasi ekspor dari segmen bijih nikel, feronikel, dan barang daripadanya mencapai US$ 6,34 miliar atau setara Rp101,44 triliun (Asumsi kurs Rp16.000/US$) pada sepanjang Januari – April 2024.
Selama empat bulan berjalan tahun ini, total ekspor nikel sudah setara dengan 28,7% capaian ekspor pada 2023 senilai US$ 22,10 miliar atau setara Rp353,69 triliun.
Namun capaian ini memang juga erat kaitannya dengan harga nikel di pasar global. Harga nikel di pasar global mengalami fluktuasi yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Harga nikel sempat melonjak seiring dengan terjadinya commodity boom pada 2022 menembus US$ 47 ribu per ton. Salah satu lonjakan harga dipengaruhi oleh faktor geopolitik akibat ketegangan antara Rusia dan Ukraina yang mengganggu rantai pasok.
Meski demikian, harga nikel sudah mulai menurun seiring dengan rantai pasok yang lebih baik.
Baru-baru ini, kondisi Rusia Ukraina yang masih panas menyebabkan adanya larangan impor nikel Rusia oleh beberapa bursa komoditas global, seperti London Metal Exchange (LME) dan Chicago Mercantile Exchange (CME), sebagai bagian dari sanksi terhadap Rusia terkait invasinya ke Ukraina. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi pendapatan ekspor Rusia dan mencegah gangguan pasar global.
Larangan ini menyebabkan pasokan nikel global berkurang, mendorong harga nikel naik kembali. Indonesia, sebagai produsen utama nikel, diuntungkan dari kenaikan harga ini. Namun, situasi ini juga menimbulkan tantangan bagi industri dalam negeri untuk memastikan pasokan yang stabil dan memenuhi permintaan global yang meningkat.
Kondisi Geopolitik Mineral Kritis dan Mineral Strategis
Kondisi geopolitik global sangat mempengaruhi industri mineral kritis dan mineral strategis, termasuk di Indonesia. Salah satu isu utama adalah ketegangan antara Amerika Serikat dan China, di mana Indonesia sering dianggap lebih condong ke China.
Hal ini terutama disebabkan oleh banyaknya smelter nikel yang dibangun dengan bantuan investasi China. Kerja sama ini menimbulkan kekhawatiran di Amerika Serikat, yang sedang memperebutkan gelar ekonomi terbesar dunia. Persoalan ini juga turut menjadi pemicu bagi AS berusaha mengurangi ketergantungan global pada pasokan mineral dari China.
Tensi panas antara AS dan China menciptakan dilema bagi Indonesia. Di satu sisi, Indonesia mendapatkan banyak manfaat dari investasi China, terutama dalam pengembangan smelter dan infrastruktur pertambangan. Di sisi lain, tekanan dari Amerika Serikat untuk mengurangi kerja sama dengan China dapat mempengaruhi hubungan bilateral dan strategi ekonomi jangka panjang Indonesia.
Tidak hanya itu, persoalan ini juga mendatangkan kabar tidak menyenangkan dari Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia. Pasalnya, AS dinilai sedang pilih kasih alias tidak berlaku adil terhadap Indonesia, terutama terkait dengan pemberian subsidi hijau bagi mineral nikel untuk kendaraan listrik. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyayangkan pengucilan produk nikel Indonesia dari paket subsidi Amerika Serikat untuk teknologi hijau.