Stres menjadi hal yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Bisa stres karena pekerjaan, kehidupan, hingga masalah percintaan.
Umumnya, stres bisa diungkapkan melalui rasa marah atau menangis. Namun, beberapa orang mungkin mengalihkannya dengan makan lebih banyak dari biasanya.
Emotional healing and emotional eating coach, Nina Nikicio, menjelaskan kondisi seperti itu bisa jadi karena emotional eating. Ini adalah kondisi saat seseorang makan, tapi tidak untuk mengatasi rasa lapar sebenarnya.
“Pada dasarnya makan, tapi bukan untuk memuaskan rasa lapar fisik, tapi rasa lapar emosional. Biasanya terjadi di waktu-waktu normal untuk makan atau waktu makan manusia. Umumnya kita makan saat sarapan, makan siang, dan makan malam,” jelas Nina saat ditemui di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (18/7/2024).
“Tapi, mungkin di tengah-tengah waktu itu ada ‘ledakan’ seperti, ‘kok gue pengen ngunyah ya’, itu namanya emotional eating,” sambungnya.
Nina menjelaskan emotional eating setiap orang bisa berbeda-beda. Ada yang cenderung akan lebih banyak makan, misalnya ingin yang manis-manis atau makanan pedas.
Menurut Nina, itu tergantung bagaimana mereka mendapatkan suasana hati yang nyaman. Meski begitu, kondisi tersebut masih bisa dikendalikan dengan baik, salah satunya dengan mengontrol emosi.
“Paling utama itu mengenali emosi tersebut, sadar dulu sama emosinya, ini yang kadang-kadang kita tidak sadari. Jadi perlu disadari dulu kenapa aku begini, dari mana asalnya kebiasaan ini, atau dari gaya hidup yang dicontohkan orang tua kita dulu,” terang Nina.
“Bisa juga karena kebiasaan seperti kalau lagi nonton TV biasanya pengen ngunyah keripik. Semua ini adalah bagian dari emotional eating,” pungkasnya.