ANGKA pernikahan belakangan ini memang mulai menglami penurunan, perceraian kian meningkat, dan pemberitaan tentang KDRT seolah tiada ujungnya. Semua ini tak pelak membuat orang bertanya-tanya, apakah pernikahan seburuk itu?
Fenomena kegagalan rumah tangga sendiri, dalam ilmu family constellation atau konstelasi keluarga, dipahami sebagai akibat tidak pulihnya pola rantai toksik yang diwariskan orang tua dan leluhur. Oleh karenanya, mengenali pasangan, keluarganya, dan histori diri sendiri sudah sepatutnya menjadi kewajiban sebelum memasuki hubungan jangka panjang.
Sebuah pertanyaan besar pun muncul, berapa lamakah idealnya durasi mengenal pasangan hingga pas untuk memutuskan menikah? Menurut Family Constellation Therapist, Meilinda Sutanto, penentu utama seseorang untuk memutakan menikah bukanlah masalah waktu. Namun seberapa mereka saling jujur dan terbuka dengan pasangannya.
“Apakah nyaman dan aman menjadi diri sendiri ketika bersamanya? Apakah kalian dapat saling menginspirasi utk menjadi versi terbaik masing-masing?,” ujar Melinda dalam acara peluncuran buku keduanya berjudul “I DO” di kawasan Jakarta Pusat, belum lama ini.
Lebih lanjut, Meilinda mengatakan ketika seseorang sudah aman dan nyaman dengan pasangannya, barulah mereka perlu memikirkan waktu dalam menjalin hubungan. Menurutnya, ketika menjalni hubungan jangan hanya menampilkan sisi yang baik saja, agar pernikahan cepat terlaksana.
“Ada yang pasangan berpasangan setelah 7-8 tahun dan putus begitu saja, karena sesimple orang tua tidak setuju dengan pernikahannya, dan anak lebih memilih mendengarkan orang tua karena takut dicoret dari kk dan warisan keluarga,” beber Meilinda.
Dalam beberapa kasus, tak jarang pula sejumlah pasangan melakukan peranjian pra-nikah. Hal ini tentu ada plus minusnya, mengingat tak semua pihak akan setuju dengan perjanjian tersebut. Meilinda menyebut, perjanjian pranikah berfungsi seperti asuransi keamanan untuk masa depan kedua pasangan. Sehingga ini kembali kepada pilihan pribadi masing-masing.
“Ini pilihan pribadi. Banyak pihak keluarga yang ekonominya lebih berada cenderung menyarankan utk perjanjian pranikah, dan pihak keluarga yang ekonomi lebih di bawah pasangannya cenderung menolak atau tersinggung ketika diminta perjanjian pranikah,” kata Meilinda.
Menurutnya, dengan adanya perjanjian pranikah, kita dapat saling mengamankan pasangan dan anak dari efek kebangkrutan, utang yang tidak bisa terbayarkan di luar kendali atau pengetauhan kita.
“Entah itu pasangan atau keluarga besar atau teman/mitra pasangan akibat pinjam nama atau bisnis bareng yang gagal, pinjol dari pasangan atau keluarga besarnya yang kita tidak tahu. Dengan adanya perjanjian pra nikah pasangan dan anak-anak akan selamat,” timpalnya.
Melinda Susanto sendiri baru-baru ini merilis karya keduanya berjudul “I DO”. Tema relationship diangkat dalam buku kedua ini mengingat betapa pentingnya setiap pasangan untuk dapat menciptakan dan menjaga hubungan sehat sebagai fondasi kuat saat membangun dan membina rumah tangga.
Buku ini terinspirasi dari fenomena yang akrab di tengah masyarakat Indonesia. Seiring dengan berjalannya waktu, cinta dan pernikahan berevolusi sesuai jaman. Ketika jaman dulu pernikahan dianggap sebagai sarana atau alat untuk bertahan hidup bagi seorang Perempuan, jaman sekarang pernikahan menjadi pilihan dan bukan keharusan.
“Disini pentingnya bagaimana kita bisa menavigasi perubahan yang terjadi dalam masyarakat ini karena makna kebahagian bagi setiap orang berbeda,” tutup Meilinda.