Tahu Sumedang yang kerap kali disebut sebagai makanan khas kota asal Jawa Barat itu, nyatanya merupakan hasil akulturasi orang Tionghoa di Sumedang.
Tahu Sumedang yang dikenal gurih di lidah dan empuk dalam gigitan yang selama ini kita rasakan, merupakan buatan seorang imigran Tionghoa bernama Ong Ki No.
Ong Ki No dan istrinya diperkirakan datang ke Sumedang pada awal abad ke-20. Pada awalnya, Ong Ki No membuat tahu sekadar untuk menyenangkan istri tercintanya yang saat itu sangat menginginkan tahu Tionghoa, tofu.
Karena di Sumedang tidak ada tofu, lantas Ong Ki No berusaha membuat tahu semirip mungkin dengan yang diinginkan istrinya tersebut.
Dulu, sungai-sungai di Sumedang masih memiliki kualitas air yang bersih sehingga banyak orang yang banyak warga yang memakai air sungai untuk berbagai keperluan, termasuk untuk dikonsumsi dan membuat tahu.
Namun, saat Ong Ki No mencoba mengolah olahan kedelai ala Tiongkok dengan air dari sungai Sumedang, rasa yang dihasilkan berbeda dengan tofu asli dari Tiongkok.
“Tahu pertama yang berhasil dibuat Ong Ki No belum seperti tahu Sumedang yang sekarang kita kenal. Saat itu tahu yang dibuat masih tahu putih khas Tiongkok yang direbus,” tulis M.Luthfi Khair A. dan Rusydan Fathy dalam Sejarah Tahu Sumedang.
Ingin Mengubah Nasib
Selain untuk dikonsumsi pribadi, tahu buatannya juga kerap kali dibagikan ke sesama warga etnis Tionghoa ketika sedang ada perayaan. Ong Ki No juga membagikannya kepada tetangganya.
Melihat ia mendapat respons positif, lantas ia memutuskan untuk menjual tahu olahannya. Sebagai seorang perantauan yang ingin mengubah nasib menjadi lebih baik, wajar jika Ong Ki No berpikiran untuk berjualan tahu di Sumedang.
Sayangnya, usaha berjualan tahu tidak membawa perubahan yang signifikan dalam perekonomian mereka. Ong Ki No dan istrinya berencana untuk kembali ke Cina pada 1917.
Dan pada tahun yang sama, putra mereka yang bernama Ong Bung Keng datang ke Sumedang. Ketika Ong Ki No dan istrinya kembali ke Tiongkok, mereka meminta Ong Bung Keng untuk melanjutkan usaha mereka.
Kegagalan orang tuanya dalam menjual tahu membuat Ong Bung Keng merenungkan cara untuk membuat tahu lebih menarik bagi konsumen.
Akhirnya, ia berinovasi dengan cara mengoreng lagi tahu putih rebus khas Tiongkok buatan ayahnya tersebut. Hasilnya adalah tahu goreng dengan tekstur yang lebih renyah dan rasa yang lebih gurih dibandingkan tahu putih rebus.
Selain itu, proses penggorengan menghasilkan aroma khas tahu goreng yang juga menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak orang. Pada suatu ketika, Pangeran Soeriaatmadja ketika dalam perjalanan ke Situraja, di dalam kereta kuda yang dinaikinya, Pangeran Soeriaatmadja mencium aroma yang belum pernah dikenalnya dan memutuskan untuk mampir di tempat Ong Bung Keng memproduksi tahu.
Dipuji Pangerang
Seusai mencicipi tahu tersebut, sang pangeran memuji kelezatannya. Ia mengatakan jika tahu itu terus dijual pasti akan laku dan disukai banyak orang.
Bak mantra, kata-kata Pangeran Soeriaatmadja menjadi kenyataan. Sejak saat itu, tahu makin dikenal oleh masyarakat Sumedang secara luas.
Bahkan, industri tahu oleh etnis Tionghoa lain bertambah, munculnya pengusaha tahu pribumi Sumedang, dan bertambahnya konsumen tahu Sumedang hingga ke luar Kota Sumedang.
Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, terkenalnya tahu Sumedang diyakini berasal dari doa seorang Pangeran Soeriaatmadja, yang dikenal sebagai sosok yang berilmu agama tinggi dan saleh, sehingga apa yang diucapkannya bisa menjadi kenyataan. Orang Sunda menyebutnya ‘saciduh metu, saucap nyata’.
Ong Bung Keng akhirnya memberi nama usahanya ‘Tahu Bungkeng’. Hingga kini, usaha Tahu Bungkeng masih beroperasi dan diteruskan secara turun-temurun.
Saat ini, Tahu Bungkeng telah memiliki gerai di Sumedang dan Bandung. Toko pusat Tahu Bungkeng masih berada di Jalan Raya 11 April 53, tempat produksi pertama kali.
Sumber : https://www.merdeka.com/histori/siapa-yang-mengira-tahu-sumedang-awalnya-dibuat-orang-tionghoa-untuk-istrinya-239116-mvk.html?page=3